Jakarta, Kompas - Banyaknya kepala daerah yang menjadi
tersangka, bahkan menjadi narapidana, merupakan persoalan besar bangsa
Indonesia. Paling tidak hal itu akan membuat jalannya pemerintahan tidak
maksimal.
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Senin (16/4), di
Palembang, Sumatera Selatan, mengakui, banyaknya kepala daerah yang
bermasalah dengan hukum akan membuat jalannya pemerintahan tidak
maksimal. Kendati demikian, ia berharap pelayanan kepada publik tetap
harus berjalan.
Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri
Reydonnyzar Moenek, kemarin, juga menuturkan, selama periode 2004-2012
sudah 173 kepala daerah menjalani pemeriksaan dengan status sebagai
saksi, tersangka, dan terdakwa. Sebanyak 70 persen dari jumlah itu sudah
mendapat vonis berkekuatan hukum tetap dan menjadi terpidana.
Moenek
mengatakan, Kemendagri mengakui banyaknya kepala daerah yang tersangkut
hukum itu merupakan persoalan besar. Ia menyebut berbagai penyebab
mengapa banyak kepala daerah terjerat hukum, antara lain praktik politik
uang dan mahalnya biaya pencalonan.
Secara keseluruhan, di
Indonesia terdapat 495 kabupaten/kota dan 33 provinsi. Jumlah 173 kepala
daerah ini menunjukkan sepertiga daerah di Indonesia dikelola mereka
yang bermasalah dengan hukum.
”Memang sudah sepertiga dari jumlah
kepala daerah di Indonesia yang tersangkut kasus hukum. Ini
memprihatinkan, tapi kami terus berusaha membina kepala daerah,” tutur
Gamawan.
Kemarin, Wakil Ketua Komisi II DPR Ganjar Pranowo di
Palembang juga mengatakan, jumlah kepala daerah yang tersangkut masalah
hukum yang sangat besar dinilai kian mengkhawatirkan. ”Selama ini
jumlahnya terus meningkat. Jika tak segera dilakukan tindakan, maka akan
bertambah lagi,” katanya.
Ganjar mengatakan, DPR telah
mengusulkan agar para kepala daerah yang menjadi tersangka dalam masalah
hukum diberi hukuman penalti sehingga tak bisa dilantik. Usul ini
termasuk dalam usulan perbaikan UU Penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah.
Tanpa hukuman penalti tegas, praktik korupsi oleh kepala daerah
diprediksi akan terus terjadi.
Menurut Ganjar, UU Penyelenggaraan
Pemilu Kepala Daerah mendesak untuk diperbaiki. Ia mengatakan,
pembatasan dana kampanye penting untuk mencegah praktik korupsi oleh
kepala daerah saat sudah menjabat. Tingginya biaya untuk menjadi kepala
daerah selama ini diduga menjadi akar dari praktik-praktik korupsi oleh
kepala daerah.
”Saya dengar di Sumsel, modal untuk menjadi bupati
ada yang sampai Rp 80 miliar. Nah, uang sebanyak itu bagaimana nanti
akan mengembalikannya,” katanya.
Ganjar mengatakan, potensi
korupsi dari tingginya biaya untuk menjadi kepala daerah ini perlu
diperhitungkan betul dalam pembenahan sistem penyelenggaraan pemilu
kepala daerah. ”Memang sangat sulit karena uang yang beredar di pemilu
kepala daerah biasanya tersembunyi,” ucapnya menambahkan.
Reydonnyzar
Moenek kemarin mengatakan pula, praktik politik uang dan mahalnya biaya
pencalonan membuat para kepala daerah gampang terjerembab dalam perkara
korupsi.
Untuk menjadi bupati/wali kota, kata Moenek, seorang
calon harus merogoh kocek Rp 15 miliar-Rp 30 miliar. Untuk menjadi
gubernur, seorang calon harus siap-siap mengeluarkan Rp 60 miliar-Rp 100
miliar. ”Jumlah itu tidak tercukupi oleh pendapatan bersih para
pemimpin daerah selama lima tahun berkuasa,” katanya.
Moenek juga
mengaitkan soal itu dengan asal-usul para calon kepala daerah ”Ada
variasi perekrutan calon yang sangat besar. Ada calon kepala daerah yang
sebelumnya adalah artis, pengusaha, dan tukang tambal ban. Mereka
memiliki pemahaman yang sangat terbatas mengenai pemerintahan serta
birokrasi,” kata Moenek.
Ketua Dewan Perwakilan Daerah Irman
Gusman di Batam kemarin mengatakan, harus dilihat dulu apakah para
kepala daerah yang menjadi tersangka dugaan korupsi tersebut karena
pidana atau kesalahan kebijakan. Dua hal tersebut tidak boleh disamakan.
”Demokrasi
kita ini, kan, masih proses. Apa yang terjadi sekarang merupakan proses
transisi, suatu saat akan menemukan keseimbangan sendiri. Saya percaya
demokrasi yang kita bangun sekarang ini sudah lebih bagus daripada yang
lalu. Kalau ada masalah, sistemnya yang harus diperbaiki,” kata Irman.
Oleh karena itu, kata Irman, jika banyak kepala daerah tersangkut masalah hukum, itu bukan salah rakyat yang memilihnya.
Menurut Irman, yang harus dilakukan ke depan adalah konsisten dalam melaksanakan reformasi birokrasi.
Bukti serius
Juru
Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha, kemarin, juga mengatakan,
sampai saat ini Presiden telah memberikan izin sebanyak lebih dari 165
kepala daerah untuk diperiksa dalam kasus hukum. Banyaknya angka itu
menjadi bukti bahwa Presiden serius menegakkan hukum dan memberantas
korupsi.
”Dalam pandangan kami, jangan dilihat dari angka itu,
tetapi jumlah ini jelas merupakan suatu bukti bahwa pemerintah telah
benar-benar secara serius membantu jalannya pemeriksaan,” kata Julian.
Menurut
dia, hal tersebut belum pernah terjadi di era sebelum pemerintahan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. ”Dengan cara itu, diharapkan pada
masa mendatang pemerintahan dapat lebih bersih dan berjalan lebih baik,”
tuturnya.
Meski demikian, upaya pemberantasan korupsi tetap
memerlukan dukungan dari berbagai pihak, mulai dari pers hingga lembaga
swadaya masyarakat. ”Ini bukan pekerjaan yang bisa dilakukan pemerintah
sendiri,” ucap Julian.
Ia meminta agar diperhatikan betul beberapa
kejadian yang membuat kepala daerah dan wakilnya menjalani proses
hukum. ”Dalam situasi ini, tolong diperhatikan betul agar jangan sampai
pemerintahan daerah terbengkalai gara-gara kepala daerah dan wakilnya
tersangkut perkara hukum,” katanya.
Istri wali kota ditangkap
Kemarin,
istri Wali Kota Salatiga, Titik Kirnaningsih, yang juga anggota DPRD
Kota Salatiga, Jawa Tengah, ditangkap oleh Kepolisian Daerah Jateng.
Titik menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi pembangunan Jalan
Lingkar Selatan (JLS) Kota Salatiga sepanjang 4,7 kilometer yang
merugikan negara sebesar Rp 12,23 miliar.
Dalam perkara ini Titik
merupakan Direktur Utama PT Kuntjup, yang memenangi tender proyek
pembangunan JLS senilai Rp 49,6 miliar pada tahun 2008.
Sebelumnya, tersangka lain, mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kota Salatiga Saryono, sudah menjalani proses persidangan.
Ketika
ditangkap polisi, Titik pingsan dan dibawa ke RSUD Kota Salatiga dan
kemudian dirawat di RS Bhayangkara, Semarang. Titik akan ditahan di LP
Bulu, Kota Semarang. Wali Kota Salatiga Yuliyanto mendampingi Titik saat
penangkapan.
(ATO/INA/IKA/IRE/EDN/UTI)Selasa, 17 April 2012 | 01:42 WIB
0 komentar:
Posting Komentar