Selamat Datang di blog Jambi Law Discussion Forum. Ini merupakan ruang diskusi, menggali ilmu, melahirkan konsep, ide dan pemikiran, berbagi informasi, memberi kontribusi dalam rangka penegakan hukum dan keadilan. Dipersilahkan menyampaikan komentar, kritik, serta saran pada bagian yang telah disediakan. Terima Kasih Atas Kunjungan Anda.
Responsive Ads Here
Selamat Datang di Blog Pribadi Saya. Terima kasih atas kunjungan Anda. Silahkan sampaikan komentar, kritik, serta saran Anda pada bagian yang telah Saya sediakan.

Selasa, 25 September 2012

KPK vs Polri: Kegagalan Sistem Peradilan Pidana

Oleh: Giri Ahmad Taufik
"Sengkata KPK dan Polri bukan merupakan insiden terisolasi, namun merupakan persoalan sistemik yang mengungkapkan cacat mendasar dari desain KUHAP yang berlaku saat ini sebagai inti pengaturan sistem peradilan pidana."

Beroperasinya sistem pidana yang wajar dan layak (due process of law) di dalam sebuah negara hukum, merupakan indikator terpenting sejauh mana penghormatan negara terhadap hak-hak warga negaranya dan pelaksanaan konsep negara hukum. Kegagalan negara untuk menciptakan sistem peradilan pidana yang wajar dan layak, merupakan sebuah kegagalan negara di dalam mempertahankan integritas sistem hukumnya secara keseluruhan.

Sebagai sebuah negara hukum, Indonesia boleh dikatakan telah gagal di dalam menjalankan sistem peradilan pidana yang wajar dan layak. Banyaknya peradilan sesat dan proses pemidanaan yang sewenang-wenang merupakan satu dari banyak indikasi dari telah gagalnya sistem peradilan pidana Indonesia. Fenomena kegagalan sistem peradilan pidana Indonesia, tidak hanya dirasakan oleh para tersangka, namun juga berimbas pada proses pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal mana tergambar dalam sengketa antara KPK dan Polri terkait kasus simulator SIM.

Sengkata KPK dan Polri bukan merupakan insiden terisolasi, namun merupakan persoalan sistemik yang mengungkapkan cacat mendasar dari desain KUHAP yang berlaku saat ini sebagai inti pengaturan sistem peradilan pidana. Cacat itu terletak pada lemahnya kontrol terhadap pelaksanaan kewenangan pra penuntutan (penyelidikan dan penyidikan). Lemahnya kontrol terhadap proses pra penuntutan, selama puluhan tahun, telah membentuk perilaku sewenang-wenang dan arogan yang kerapkali ditunjukkan oleh Polri. Kehadiran KPK dengan kewenangan pra penuntutan yang lebih tinggi dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, tampaknya telah menganggu kemapanan dan kenyamanan Polri sebagai institusi yang selama ini mendominasi proses pra penuntutan dalam sistem peradilan pidana.

Revisi KUHAP
Cacat desain KUHAP tidak terlepas dari konfigurasi politik pada saat pembahasan dan pemberlakuan KUHAP. KUHAP saat ini disusun dan dibentuk pada tahun 1981, konfigurasi politik Orde Baru pada saat itu masih didominasi oleh pelemahan institusi sipil dan diperkuatnya institusi militer pada setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.

Konfigurasi politik yang demikian, berimplikasi pada desain KUHAP yang steril dari hak-hak asasi subtantif dari para tersangka/terdakwa dan pelemahan institusi sipil. Salah satu indikasi pelemahan institusi sipil adalah dipindahkannya kewenangan penyidikan dari jaksa ke Polri, yang pada saat itu merupakan bagian dari institusi militer.

Selain pemindahan kewenangan jaksa, kewenangan peradilan pun dilemahkan dengan mereduksi kewenangan pra peradilan, yang hanya menyangkut tiga aspek kewenangan yakni, ganti kerugian dan rehabilitasi, sah atau tidaknya penangkapan/penahanan dan sah atau tidaknya penghentian penuntutan atau penahanan. Keterbatasan ini diperparah dengan praktik pra peradilan yang cenderung hanya memeriksa kelengkapan administrasi dibandingkan persoalan subtantif yang terkandung pada hak-hak tersangka/terdakwa pada proses hukum yang layak dan wajar.

Kecacatan dari KUHAP bukan merupakan sesuatu yang tidak disadari oleh banyak pihak. Gagasan dan gerakan untuk mendorong revisi KUHAP telah gencar dilakukan, bahkan dari kalangan pemerintah dan DPR. Pada saat ini pemerintah telah berhasil menelurkan draf Rancangan KUHAP dan sudah nyaris pada tahapan penyerahan untuk dibahas di DPR. Namun, langkah tersebut terhenti dengan penolakan yang diajukan oleh Polri terutama sekali terkait dengan kuatnya peran lembaga yudikatif melalui hakim komisaris di dalam proses pra penuntutan.

Jika dibandingkan dengan lembaga pra peradilan saat ini, kewenangan hakim komisaris jauh lebih besar dari di dalam mengontrol peran lembaga pra penuntutan di dalam mengawasi pengunaan upaya-upaya penegakan hukum -penggeledahan, penyadapan, penahanan, penangkapan, dst-. Tentu hal ini sangat mengkhawatirkan bagi Polri, mengingat jika rancangan ini disahkan, maka akan mengakhiri kewenangan dominan Polri di dalam fase pra penuntutan.

Peran Pengadilan
Penguatan peran pengadilan di dalam Rancangan KUHAP saat ini, terutama dalam proses pra penuntutan merupakan sebuah kebijakan yang tepat. Kebijakan ini memiliki justifikasi yang cukup kuat, baik pada level teoritik maupun level empirik. Pada dasarnya secara teoritik kewenangan di dalam upaya penegakan hukum pidana merupakan kewenangan yang dimiliki oleh pengadilan/yudikatif. Hal ini dikarenakan, sifat represif dari kewenangan pidana yang melanggar hak-hak asasi manusia.

Dalam konteks ini, pelanggaran hak-hak asasi manusia, seperti, pelanggaran hak privasi atau perampasan kemerdekaan, hanya dapat dilakukan jika penyidik mendapatkan izin pengadilan untuk melakukannya. Sehingga, dibanyak negara-negara maju, peran pengadilan yang dominan dalam fase pra penuntutan merupakan inti dari penerapan proses hukum yang wajar dan layak di dalam sistem peradilan pidananya.

Pada level empirik, pada saat ini pertumbuhan jenis tindak pidana tertentu meningkat cukup signifikan, hal ini dibarangi dengan pertumbuhan jumlah lembaga penegak hukum yang terspesialisasi mengikuti jenis tindak pidananya. Pada saat ini, selain Polri, terdapat beberapa kementerian/lembaga negara yang memiliki Penyidik PNS untuk mengusut tindak pidana sektoral dari masing-masing kementerian/lembaga. Selain PPNS, tercatat beberapa institusi diluar Polri yang memiliki mandat penegakan hukum, antara lain, Komnas HAM, KPK dan Angkatan Laut (Tindak Pidana Kelautan).

Bertambahnya jumlah lembaga yang memiliki mandat penegakan hukum memiliki potensi sengketa kompetensi/kewenangan antara institusi kementerian/lembaga tersebut dengan Polri, seperti yang saat ini berlangsung antara KPK dan Polri, semakin besar. Peran pengadilan di dalam kasus-kasus seperti ini adalah untuk menyelesaikan sengketa kompetensi antara lembaga-lembaga penegak hukum yang saling bersengketa.

Signifikansi revisi KUHAP dengan penguatan peran peradilan dan pencantuman hak-hak subtantif tidak hanya strategis untuk memperbaiki kegagalan sistemik dari sistem peradilan pidana Indonesia, namun secara politik, merupakan bentuk perlawanan terhadap arogansi Polri yang telah menahan proses pembahasan revisi KUHAP. Langkah tegas Presiden untuk segera menyerahkan draf pembahasan revisi KUHAP kepada DPR, merupakan kontribusi konkret dari Presiden terkait dengan sengketa antara KPK dan Polri, jika Presiden merasa bahwa mencampuri secara langsung merupakan tindakan inkonstitusional dan intervensi penegakan hukum.

Khusus terkait dengan kasus sengketa Polri dan KPK, sejalan dengan logika penguatan peran pengadilan di dalam Sistem Peradilan Pidana, maka upaya konkret untuk menyelesaikan sengketa Polri dan KPK yang ada saat ini ialah dengan menanyakan pendapat pengadilan/Mahkamah Agung untuk memutuskan siapa yang lebih berhak antara Polri dan KPK dalam menangani kasus Simulator SIM. 

* Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) & Pengajar Indonesia Jentera School of Law (IJSL)
Kamis, 13 September 2012

Kamis, 13 September 2012

AS Ancam Tuntut Penulis Buku Pembunuhan Osama

WASHINGTON, KOMPAS.com Pentagon, Kamis (30/8/2012), mengancam akan melakukan tuntutan hukum (legal action) terhadap mantan anggota Navy SEAL yang telah menulis buku yang mengisahkan perannya dalam serangan Mei 2011, yang menewaskan pemimpin Al Qaeda, Osama bin Laden.

Beberapa hari jelang peluncuran buku—yang merupakan laporan langsung dari tangan pertama tentang operasi di wilayah Pakistan itu—pengacara top Pentagon, Jeh Johnson, menyampaikan kepada penulis buku itu bahwa ia telah melanggar sumpahnya untuk mematuhi perjanjian non-disclosure yang ditandatanganinya sebelum pensiun dari militer tahun ini. "Dalam penilaian Departemen Pertahanan, Anda berada dalam pelanggaran material dan pelanggaran perjanjian non-disclosure yang Anda tanda tangani" dan Pentagon sedang mempertimbangkan "semua langkah yang secara hukum tersedia," kata Johnson dalam sebuah surat kepada penulis itu, yang menulis dengan nama samaran Mark Owen.

Buku mantan anggota pasukan komando Angkatan Laut berjudul No Easy Day tersebut akan diluncurkan minggu depan, tetapi telah memicu gelombang publisitas dan kontroversi.

Menurut Johnson, penulis itu telah menandatangani sejumlah dokumen selama tugasnya. Sebelum pensiun pun ia bersumpah "tidak akan pernah membocorkan" informasi rahasia dan mengirimkan setiap naskah apa pun ke Pentagon sebelum naskah itu itu diterbitkan.

Penasihat umum Pentagon itu mencatat bahwa beberapa eksemplar buku telah beredar pada Rabu sebelum jadwal peluncuran minggu depan. Dia juga memperingatkan, "Melanjutkan peredaran buku Anda berarti akan memperburuk pelanggaran yang Anda lakukan dan melanggar sumpah," bunyi surat itu.

Surat tersebut tidak menunjukkan apakah buku itu telah mengungkapkan hal yang bersifat rahasia yang bisa membahayakan pasukan AS. Namun ditegaskan bahwa cukup dengan tidak memberikan naskah buku itu sebelumnya ke pihak militer, anggota Navy SEAL tersebut sudah melanggar sumpahnya.

Para pejabat tinggi militer dan intelijen, yang bertemu untuk membahas buku pada hari Rabu, telah menyisir teks buku itu beberapa hari terakhir untuk mencari adanya pengungkapan taktik atau teknik sensitif. Namun, sejauh ini mereka belum menunjukkan adanya sesuatu yang mengkhawatirkan.

Kisah kematian Osama versi anggota tim Navy SEAL itu berbeda dibanding laporan sebelumnya yang dibeberkan pemerintahan Presiden Barack Obama. Hal ini pun muncul di tengah perdebatan politik tentang penanganan rahasia negara di belakang serangan tersebut.

Pentagon menegaskan bahwa penerbit buku itu, Penguin's Dutton, juga menghadapi potensi bahaya hukum terkait buku tersebut. "Saya menulis kepada Anda untuk secara resmi memberi tahu tentang pelanggaran material dan pelanggaran perjanjian, juga bahwa Departemen Pertahanan sedang mempertimbangkan untuk menuntut Anda ... ," demikian potongan surat itu.

Penerbit itu telah memajukan tanggal peluncuran dari 11 September menjadi tanggal 4 September mendatang, sementara liputan media telah memicu banjir pesanan untuk buku tersebut.

Buku No Easy Day memberikan rincian baru tentang serangan pada Mei 2011 itu. Buku itu menggambarkan bahwa Osama kali pertama ditembak di kepala ketika ia melongok keluar dari sebuah pintu. Ia lalu diberondong peluru saat ia kejang-kejang di lantai.

Laporan resmi sebelumnya mengatakan, Osama muncul di pintu, lalu merunduk dan kembali ke kamar tidurnya. Langkah Osama kembali ke kamar itu membuat pasukan komando AS menduga bahwa ia mungkin akan mengambil senjata.

Namun, penulis itu mengatakan bahwa Osama ditembak di kepala oleh tim SEAL ketika ia melongok keluar dari pintu. Osama kemudian ditemukan dalam kondisi berlumuran darah akibat luka ketika pasukan komando memasuki kamarnya, demikian menurut kutipan yang dikutip dalam laporan media dan dikonfirmasi kepada AFP oleh para pejabat pertahanan AS. Pemimpin Al Qaeda itu terluka parah tetapi masih bergerak-gerak di lantai, sementara dua perempuan menangisinya.  Menurut buku itu, anggota Navy SEAL lalu menyingkirkan kedua perempuan itu, kemudian menghujani Osama dengan tembakan.

Kami "menembak beberapa kali," tulis penulis itu dalam buku tersebut. "Peluru-peluru mengoyak (tubuh) dia, mengempaskannya ke lantai sampai tak bergerak."

Fox News telah mengungkapkan identitas penulis itu, yang disebut sebagai seorang mantan anggota Navy SEAL yang juga terlibat dalam operasi tahun 2009 untuk menyelamatkan Kapten Richard Phillips dari bajak laut Somalia.
 
Jumat, 31 Agustus 2012 | 11:29 WIB
Sumber :
AFP
Editor :
Egidius Patnistik

Uji Materi UU PT Solusi atas Pro dan Kontra

JAKARTA, KOMPAS.com — Anggota Komisi X DPR RI, Rohmani, menilai, uji materi Undang-Undang Pendidikan Tinggi ke Mahkamah Konstitusi oleh sejumlah elemen masyarakat sebagai solusi atas pro-kontra selama ini. Hal itu menjadi jalan terbaik untuk mengakhir polemik UU PT sehingga polemik tidak berkepanjangan.
"Kami sambut baik. Pihak-pihak yang hendak membawa undang-undang ini ke Mahkamah Konstitusi. Biar clear," katanya.
Dalam siaran persnya, Jumat (31/8/2012), Rohmani berpandangan uji UU PT merupakan hal yang wajar dalam kehidupan bernegara. Oleh karena hal tersebut diatur dalam undang-undang. Setiap kelompok masyarakat memiliki hak untuk melakukan hal tersebut.
"Kita tidak ingin hal ini berkepanjangan. Kita butuh undang-undang yang bisa menjadi payung hukum bagi pendidikan tinggi. Sejak UU BHP dibatalkan, praktis tak ada lagi undang-undang yang spesifik mengatur pendidikan tinggi," kata Rohmani.
Dengan uji materi undang-undang ini, Rohmani berharap tidak ada lagi polemik. Mahkamah Konstitusi bisa memutuskan dengan mengacu pada Undang-Undang Dasar 1945. Yang perlu dipastikan dalam undang-undang tersebut harus mengakomodasi masalah akses dan kualitas pendidikan tinggi. 

Penulis : Ratih Prahesti Sudarsono | Jumat, 31 Agustus 2012 | 21:33 WIB
Editor :
Robert Adhi Ksp

Guru Rawan Dipolitisasi Dalam Pilkada

JAKARTA, KOMPAS.com - Guru-guru yang dalam era otonomi daerah rawan dipolitisasi saat pemilihan umum kepala daerah (pilkada). Para guru pun rentan untuk dilibatkan dalam dukung-mendukung calon pemimpin daerah yang terlibat pilkada.
Sekarang dihembuskan isu yang menurut saya merupakan pembodohan. Misalnya kalau bukan incumbent, maka tunjangan kinerja daerah, termasuk yang dinikmati guru, akan hilang. Anehnya, banyak guru yang kemakan isu ini. Seharusnya guru cerdas dan rasional

Seperti di DKI Jakarta, beredar kabar guru-guru pendidikan kewarganegaraan (PKN) dijenjang SMP dihimbau untuk memantau pilihan orang tua siswa dalam menjelang Pilkada DKI Jakarta putaran kedua.
Pada Rabu (12/9/2012), beredar adanya lembar kertas yang dibagikan pada siswa SMP di Jakarta. Lembar kertas tersebut sebgai panduan siswa mewawancarai ornag tua mereka yang mengarahkan untuk mendukung salah satu calon Gubernur DKI Jakarta.

"Senin kemarin para guru PKN dikumpulkan dalam pertemuan musyawarah guru mata pelajaran (MGMP) PKN. Katanya untuk sosialisiasi perubahan kurikulum PKN yang menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Tetapi di akhir pertemuan, kok narasumber seperti memberikan pesan sponsor yang mengarahkan untuk mendukung salah satu calon Gubernur," kata guru PKN di salah satu SMP di Jakarta Timur.

Guru tersebut mengatakan dalam penjelasan nara sumber, awalnya menyebutkan keprihatinan masih rendahnya partisiapsi masyarakat DKI dalam Pilkada putaran pertama. Untuk itu, siswa perlu diberi pembelajaran tentang pentingnya berdemokrasi.
"Tujuannya katanya supaya siswa bisa ikut memantau proses demokrasi. Tetapi, kok contoh-contoh tugas yang diberikan menonjolkan kiprah salah satu calon di DKI. Ada kesan mengarahkan kepada salah satu calon tertentu," kata guru tersebut.

Ketua Forum Musyawarah Guru Jakarta Retno Listyarti mengatakan sangat tidak etis jika guru digiring-giring seperti itu untuk kepentingan politis. Mestinya guru diberi kebebasan menentukan pilihannya dalam pilkada DKI Jakarta.

"Sekarang juga dihembus-hembuskan isu yang menurut saya merupakan pembodohan. Misalnya kalau bukan incumbent, maka tunjangan kinerja daerah, termasuk yang dinikmati guru, akan hilang. Anehnya, banyak guru yang kemakan isu ini. Seharusnya guru dapat menjadi pemilih yang rasional dan cerdas. Guru juga perlu mencontohkan kepada siswa bagaimana memilih dengan rasional dan cerdas," kata Retno yang juga Sekretaris Jenderal Federasi Guru Seluruh Indonesia (FGSI).

Secara terpisah, Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistiyo mengatakan guru-guru rawan dipolitisasi. Para guru sering tergiring dalam arus politisasi pilkada karena keberlangsungan profesi sebagai pendidik sering terancam jika tidak mendukung calon tertentu.

"Sangat disayangkan, jika pemerintah daerah juga mempolitisasi guru. Apalagi jika dikaitkan dnegan karir para guru. Kasihan, nasib masa depan pendidikan di negeri ini jika guru-guru pun ikut dipolitisasi setiap pilkada," kata Sulistiyo.
 
 
Penulis : Ester Lince Napitupulu | Rabu, 12 September 2012 | 18:05 WIB 
Editor : Robert Adhi Ksp

Jumat, 24 Agustus 2012

Upaya Hukum Jika Pengusaha Tidak Memberikan Waktu untuk Salat Jumat

Saya bekerja di sebuah warnet, apakah saya bisa menuntut pengusaha pemilik warnet yang tidak memberikan waktu istirahat, dan tidak memberikan waktu untuk menjalankan kewajiban ibadah salat jum'at?

Jawaban:
http://images.hukumonline.com/frontend/lt4f82c1c43ef9e/lt4f8d6eae96199.jpg
Saudara terhormat,
Sebelumnya kami haturkan terima kasih atas pernyataan yang Saudara sampaikan kepada kami. Ketentuan mengenai ketenagakerjaan beserta hak-hak dan kewajiban yang melekat dalam hubungan kerja diatur di dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”). Oleh karena Saudara menyatakan dalam pertanyaan Saudara bahwa Saudara bekerja di sebuah warnet, maka dengan demikian antara Saudara sebagai pekerja dengan pengusaha, dalam hal ini pemilik warnet, ada hubungan kerja yang segala ketentuannya tunduk pada aturan UUK tersebut.
Terkait dengan pernyataan Saudara di atas, maka “hak istirahat” dan “hak melaksanakan ibadah”, termasuk di dalamnya salat jumat, merupakan hak pekerja yang secara jelas diatur di dalam UUK dan bahkan dilindungi baik oleh Konstitusi Negara Indonesia (UUD Negara RI Tahun 1945) maupun di dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”).
Secara khusus hak beristirahat dan hak menjalankan ibadah diatur di dalam Pasal 79 dan Pasal 80 UUK, yang menyebutkan sebagai berikut :
Pasal 79 UUK:
(1) Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh.
(2) Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi:
a.    istirahat antara jam kerja, sekurang kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja;
b.    istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;
c.    cuti tahunan, sekurang kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; dan
d.    istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.
(3) Pelaksanaan waktu istirahat tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(4) Dst ...
(5) Dst ...
Pasal 80 UUK :
Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.
Penjelasan Pasal 80 UUK :
Yang dimaksud kesempatan secukupnya yaitu menyediakan tempat untuk melaksanakan ibadah yang memungkinkan pekerja/buruh dapat melaksanakan ibadahnya secara baik, sesuai dengan kondisi dan kemampuan perusahaan.
Hak istirahat dan hak menjalankan ibadah -- termasuk salat jumat untuk yang beragama Islam -- merupakan hak asasi yang melekat pada diri seorang pekerja. Hak tersebut dilindungi tidak hanya oleh UUK, namun juga oleh Konstitusi RI dan UU HAM. Hal ini sebagaimana bisa dilihat dalam ketentuan Pasal 28 D ayat (2) dan Pasal 28 E ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 serta Pasal 22 UU HAM, yang menyebutkan sebagai berikut:
Pasal 28 D ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945:
Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Pasal 28 E ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945:
Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali
Pasal 22 UU HAM:
(1)   Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
(2)   Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Dengan demikian, maka secara hukum jelaslah bahwa Saudara sebagai pekerja/karyawan mempunyai hak istirahat dan hak menjalankan ibadah (sholat jumat), tanpa membedakan apakah Saudara karyawan kontrak ataupun karyawan tetap. Dengan adanya hak yang melekat pada Saudara tersebut, maka pengusaha wajib memenuhi atau memberikannya, dan apabila pengusaha tidak mau memberikan maka Saudara mempunyai hak menuntut kepada pengusaha untuk memenuhi hak istirahat dan menjalan ibadah tersebut. Apabila tidak dilaksanakan, maka pengusaha tersebut patut diduga telah melakukan perbuatan melanggar hukum dan hak asasi manusia. Upaya hukum yang dapat Saudara lakukan adalah dengan melaporkan permasalahan tersebut ke Dinas Ketenagakerjaan yang melingkupi wilayah Saudara dan/atau mengadukannya ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Indonesia. Namun demikian, kami menyarankan Saudara melakukan musyawarah terlebih dahulu dengan pemilik warnet agar ditemukan dan didapatkan solusi yang terbaik.
Demikian Semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5008f512abb36/upaya-hukum-jika-pengusaha-tidak-memberikan-waktu-untuk-salat-jumat-

Recent Posts